Subcribe to our Newsletters

Minggu, 12 Juni 2011

Lirik Lagu Lilin-lilin Kecil

Lirik Lagu

Manakala mentari tua
Lelah berpijar
Oh...
Manakala bulan nan genit
Enggan tersenyum
Berkerut kerut tiada berseri
Tersendat-sendat merayap dalam kegelapan
Hitam kini hitam nanti
Gelap kini akankah berganti

Chorus
Engkau lilin-lilin kecil
Sanggupkah kau mengganti
Sanggupkah kau memberi
Seberkas cahaya
Engkau lilin-lilin kecil
Sanggupkah kau berpijar
Sanggupkah kau menyengat
Seisi dunia

Oh...
Manakala mentari tua
Lelah berpijar
Oh...
Manakala bulan nan genit
Enggan tersenyum
Berkerut kerut tiada berseri
Tersendat-sendat merayap dalam kegelapan
Hitam kini hitam nanti
Gelap kini akankah berganti

Chorus
Engkau lilin-lilin kecil
Sanggupkah kau mengganti
Sanggupkah kau memberi
Seberkas cahaya
Engkau lilin-lilin kecil
Sanggupkah kau berpijar
Sanggupkah kau menyengat
Seisi dunia (2X)

Setelah membaca lirik dan mendengarkan lagu dari alm. Chrisye ini kami berpendapat bahwa lagu ini sangat cocok untuk orang-orang dengan HIV/AIDS(ODHA)...
Mereka membutuhkan cahaya yang menerangi hidup mereka agar terus bercahaya dan tidak redup setelah mereka tahu bahwa mereka terjangkit HIV/AIDS...
Jadi, mari kita merubah pandangan kita mengenai ODHA, ODHA juga manusia dan butuh orang-orang disekitarnya untuk menerangi mereka..

:)

Kamis, 09 Juni 2011

Salma Shafirra dan Pengalamannya Tinggal Seatap Dengan ODHA

Hai saudara-saudara yang terkasih :) Ini ada saudara kita, namanya Salma Shafirra (14th) yang mau sharing tentang pengalamannya tinggal satu rumah dengan ODHA :)
Nama saya Shalma Shafirra :) Saya tinggal di Bandung. Usia saya memang masih muda, 14 tahun. Tapi di usia saya yang muda ini saya diberi kesempatan berharga untuk mengenal seseorang yang mengidap HIV/AIDS. Pengalaman ini adalah pengalaman tak terlupakan bagi saya. ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS) yang saya kenal telah memberikan banyak inspirasi bagi saya.
Suatu hari, datanglah orangtua saya bersama seorang pria separuh baya ke rumah kami, sebut saja namanya Paman X. Paman ini adalah teman orangtua saya. Saya tidak menyangka, bahwa Paman X ini ternyata mengidap penyakit yang sangat serius, padahal dari luar ia terlihat seperti orang sehat pada umumnya.
Orangtua saya mengajak Paman X untuk tinggal bersama-sama kami. Sebagai seorang teman, orangtua saya rindu untuk menyemati Paman X yang harus memikul penyakit berat. Setiap hari, dari pagi hingga malam saya bertemu Paman X. Kami sering berbincang-bincang dan bersenda gurau bersama. Lama-lama saya dekat dengan Paman ini. Ia sudah saya anggap seperti paman saya sendiri.
Dari cerita beliau, saya tahu bahwa Paman X mengidap HIV/AIDS sejak bulan Juni 2007.  Sejak itu, pola hidupnya langsung berubah drastis. Paman X tidak boleh lagi jajan sembarangan. Ia harus makan masakan rumah dengan menu-menu yang diijinkan oleh dokter. Selain itu, Paman X harus rutin minum obat. Setiap jam 9 pagi dan jam 9 malam, ia harus minum obat ARV pemberian dokter. Tidak hanya itu, jam setengah 10 malam, Paman X harus menegak obat yang lain lagi. Untungnya, Paman X masih bisa bekerja dan melakukan aktivitas seperti yang dilakukan orang pada umumnya.
 Sejak kedatangan Paman X ke rumah kami, saya pribadi tidak pernah merasa takut dengan penyakit yang diderita beliau. Saya juga tidak takut tertular oleh penyakit tersebut. Paman X bisa menjaga dirinya agar tetap steril.
 Meski Paman X menyangdang status sebagai ODHA, namun lingkungan di sekitar tempat tinggal kami tidak pernah mempermasalahkannya. Mereka justru merasa simpati dengan keadaan Paman X. Walaupun demikian, bukan berarti tidak ada orang yang mengucilkan paman X sebagai ODHA. Di beberapa tempat yang lain, ada orang-orang yang antipati dengan kehadiran ODHA seperti Paman X.
Kini Paman X sudah tiada. HIV/AIDS yang semakin hari semakin menggerogoti tubuh Paman X membuatnya tidak lagi dapat bertahan. Saya sangat merindukan kehadiran beliau. Saya merindukan saat-saat di mana saya bisa berbincang-bincang dan bergurau dengan beliau. Saya merindukan sosoknya di rumah kami.
Namun setidaknya, semasa hidup beliau, saya sudah memberikan apa yang bisa saya beri. Dukungan dan semangat. Ya, memang sangat sederhana. Saya pun tidak perlu mengeluarkan uang untuk memberikan dua hal itu. Tapi memang dua hal itu lah yang sangat dibutuhkan ODHA seperti Paman X. Sekecil apa pun dukungan yang kita beri, itu sangat berarti bagi ODHA.
Karena itu, saya rindu menyampaikan pesan ini:
"Berikanlah support pada ODHA yang ada di sekitar lingkungan kalian. ODHA bukanlah orang yang harus ditakuti. Justru mereka harus dirangkul untuk diberi semangat. Dukungan dan semangat yang kita beri bisa menolong ODHA keluar dari keterpurukan dan membantu ODHA untuk memberi yang terbaik bagi hidupnya."
Terima kasih buat kesempatan sharingnya. Semoga sharing Salma bisa menjadi berkat bagi kalian semua :)

 

Rabu, 08 Juni 2011

* SERPIHAN MUTIARA KATA DARI MEREKA*

 Apa yang mereka katakan tentang ODHA?


"Stigma hurts. Because of AIDS, children are bullied, isolated and shut out of school. They are missing out on education. They are missing out on medicines. Children are missing your love, care and protection. Join me. And become a stigma buster" ( Stigma itu menyakitkan, karena AIDS, banyak anak diperlakukan tidak adil,terisolasi dan keluar dari sekolah. Meraka kehilangan pendidikan. Mereka kehilangan obat. Anak-anak itu merindukan kasih, keperdulian dan perlindungan. Bergabunglah bersama saya. Dan menjadi penghancur stigma)- Jacky Chan (http://www.betterworld.net)


"Started in 1988, World AIDS Day is not just about raising money, but also about increasing awareness, fighting prejudice and improving education.  World AIDS Day is important in reminding people that HIV has not gone away, and that there are many things still to be done ( Dimulai pada tahun 1988, Hari AIDS Sedunia bukan hanya tentang mengumpulkan uang, tetapi juga tentang peningkatan kesadaran, melawan prasangka dan meningkatkan pendidikan. Hari AIDS Sedunia penting untuk mengingatkan orang bahwa HIV belum pergi, dan bahwa ada banyak hal yang masih harus dilakukan)~avert.org, 2006"  ~avert.org, 2006


"It is bad enough that people are dying of AIDS, but no one should die of ignorance"(Sudah cukup buruk bahwa orang-orang meninggal karena AIDS, tapi tidak ada yangharus mati karena ketidakperdulian).  ~Elizabeth Taylor


"If you judge people you have no time to love them" (ika Anda menghakimi orang-orang, anda tidak punya waktu untuk mengasihi mereka) ~Mother Teresa



"No war on the face of the Earth is more destructive than the AIDS pandemic."(Tidak ada perang di muka Bumi lebih merusak daripada pandemi AIDS) Colin Powell http://www.changingthepresent.org

Teman-teman telah mengerti pandangan mereka tentang ODHA. Bagaimana dengan kamu?
post komen kamu dan ubahlah paradigma sesamamu tentang ODHA. Mari berubah.

Selasa, 07 Juni 2011

Kasih Meruntuhkan Diskriminasi ODHA

Biarkan mereka yang bicara, saya hanya mendengarkan…


Di ruangan berukuran 3×4, Lasarus Taiget (28) tidur terbujur menatap langit-langit kamar. Mata putihnya sesekali dibuka dan ditutup menahan perih. Seluruh permukaan kulitnya tampak mengelupas dengan sisik-sisik berjatuhan di atas tempat tidur.

Sesekali ia menatap salib besar yang terpancang pada tembok tepat di atas kepalanya. Semangkuk nasi dan ikan kuah yang tersedia di atas meja samping tempat tidurnya belum tersentuh sendok. Padahal jam di dinding ruangan itu telah menunjukkan pukul 14.00 WIT. Sesuai waktu makan bagi penghuni rumah aman itu, Lasarus sudah molor makan satu jam di Selasa, 1 Desember 2009.
”Aku suap makan ya,” ujar Sr. Yuli sambil menyodorkan sendok berisi nasi. Lasarus menggeleng. Diam. Ruangan panjang bertembok putih dialasi keramik kuning itu memang selalu sunyi setiap hari layaknya biara. Suara detak jam dinding terdengar begitu kuat. Empat dari tujuh kamar tidur terlihat terbuka tanpa penghuni. Kosong.
”Di sini tinggal enam orang, tetapi yang seorang lagi pulang mengurus pensiun suaminya di Wamena, tinggal empat orang. Tadi satu lagi barusan minta izin pulang ke keluarga, sore baru pulang,” kata Sr. Yuli.
Tiga perempuan terlihat sibuk memasak di dapur. Dua orang masih muda. Mungkin belasan tahun. Yang satunya sudah tua berusia rata-rata 50 tahun. Tubuh mereka terlihat kurus. Mereka memilih menghindar saat didekati. Hanya Lasarus yang bisa membuka diri dan bersedia diajak ngobrol.
“Ia sudah kita rawat di sini 10 bulan lalu. Kulitnya ini akibat infeksi oportunistik,” kata Sr. Yuli. Infeksi itu disebabkan oleh kuatnya serangan organisme lain di saat kekebalan tubuh telah dirusak oleh Human Immunodeficiency Virus (HIV). Juga akibat efek obat Anti Retro Viral (ARV) berlebihan yang dikonsumsi Lasarus.
Lasarus adalah putra pertama dari tujuh bersaudara. Ia asli dari Arso Kota, Keerom. Sehari-hari, ayahnya, Hengky Taiget selalu berada di sampingnya. Pihak shelter juga menyiapkan satu tempat tidur untuk Hengky di kamar yang sama.
”Saya hanya petani, tidak punya uang, tapi saya tidak mau pilih kasih dengan anak-anak yang lain. Waktu periksa di Dian Harapan dan dokter bilang dia sakit itu (HIV—Red.), saya, istri dan anak-anak lain memang sempat terpukul. Tapi mau bilang bagaimana, ini sudah terjadi,” kata Hengky. Di tengah penderitaan Lasarus yang kian parah akibat virus mematikan itu, Hengky masih bisa tersenyum. Tabah.
”Dulu saya marah-marah dan sampai pukul dia (Lasarud—Red). Dia sering begadang malam, minum-minum, dan pacaran. Tapi dia keras kepala,” ujar Hengky mengenang masa muda anaknya.
Shelter Surya Kasih yang terletak di belakang SMUK Teruna Bhakti Waena, Kelurahan Yabansai adalah rumah aman milik ordo Frasiskan (OFM), sebuah kongregasi Gereja Katolik yang bernaung di bawah Keuskupan Jayapura. Rumah ini dibangun khusus untuk menampung para ODHA (Orang Dengan HIV-AIDS). Adalah Br. Agus Adil OFM yang merintis shelter ini sejak 2004, dimulai dengan mengontrak sebuah rumah sederhana di Abepura dan berpindah ke belakang RS Dian Harapan tahun 2007.
“Rumah ini baru selesai Agustus lalu, baru tiga bulan kita pindah ke sini,” kata Sr. Yuli. Di rumah itulah, Sr. Yuliana Supatmiati melewati hari-harinya untuk mendampingi para ODHA. Sr. Yuli lulusan D3 Keperawatan Program Khusus Dinkes Kota Jayapura 2009. Sebelumnya, ia bekerja di ruang UGD RS Dian Harapan (RSDH) setelah lulus dari SPK Misi Lebak Bulus, Banten.
Ketika pertama kali ditawarkan oleh Br. Agus Adil untuk menjadi perawat pendamping para ODHA, ia sempat ragu. Ia takut tertular Human Immunodeficiency Virus (HIV), retrovirus yang menginfeksi sel sistem kekebalan tubuh manusia, terutama CD4+ Sel T dan macrophage. Ia lalu mencari literatur buku-buku dan menggali informasi seputar proses penularan HIV. Ternyata HIV hanya bisa menular lewat cairan kelamin saat berhubungan seks, seks oral, atau melalui anus. Juga melalui darah saat transfusi darah dan penggunaan bersama jarum suntik yang sudah terkontaminasi serta melalui air susu ibu. Ia tidak menular lewat kontak fisik biasa seperti berjabatan tangan, berpelukan, aroma nafas maupun air liur.
”Setelah tahu semua itu baru saya terima tawaran Br. Agus. Dan saya mulai sadar, ternyata mereka butuh didengarkan. Biasanya kalau penghuni baru masih belum terima penyakit, mereka sering teriak tengah malam dan menangis histeris. Saya dekati dia, saya ajak dia ngobrol, saya biarkan dia bercerita dan saya duduk dengar tanpa tanya, sampai-sampai ada yang menangis dan tertidur di pangkuan saya,” katanya.
Perempuan kelahiran Lampung, 4 Mei 1981 ini mengaku seluruh karya pelayanannya terinsprasi oleh semangat pelayanan Ibu Teresa dari Calcutta yang membuka rumah Nirmal Hriday untuk orang yang sekarat, Shanti Nagar bagi koloni penderita lepra, dan rumah Kalighat bagi yatim piatu di India. Ia begitu terkesan dengan Ibu Teresa yang setia merawat orang miskin, mencuci luka-luka mereka, meringankan rasa sakit mereka, dan membuat mereka merasa dihargai.
“Saya tergugah dengan semboyannya: ‘Jangan hanya memberikan tanganmu untuk menolong mereka, berikanlah juga hatimu.’ Itu yang buat saya setia melayani mereka dua tahun lebih ini,” ujar Sr. Yuli.
Spirit Cinta Kasih


12912024471684366103
 Br. Agus Adil,OFM (foto: dok. GMR)


Koordinator Shelter Surya Kasih yang juga Manajer Kasus di unit Voluntary Counseling and Testing (VCT) RS Dian Harapan, Br. Agustinus Adil OFM ditemui di Ruang VCT RSDH, Selasa 1 Desember 2009 pagi terlihat sibuk. Pria asal Manggarai, Flores Nusa Tenggara Timur itu tengah membungkus beberapa obat jenis Anti Retro Viral (ARV) ke dalam kantong plastik. ”Ini obat Duviral dan Efavirens, jenis obat ARV. Ada satu mama dari Dekay, Yahukimo yang pesan. Sebentar keponakannya datang ambil untuk dikirim ke Yahukimo,” ujarnya.


Menurut Br. Agus, berdasarkan data, sejak 2007 hingga Juli 2009, tercatat sudah 25 ODHA yang menginap di Shelter Surya Kasih. Mereka umumnya berasal dari pedalaman Papua. Namun menurut Br. Agus, jumlah ini masih sangat sedikit mengingat saat ini angka kasus HIV-AIDS di Kota Jayapura per 31 Maret 2009 mencapai 231 orang. Belum terhitung, beberapa wilayah lain seperti Kabupaten Jayapura, Keerom, Bouvendigoel, Yahukimo, Jayawijaya, Puncak Jaya yang memiliki angka kasus HIV-AIDS yang tinggi dan sering berobat ke Jayapura.


Ia menilai, masih kuatnya diskriminasi terhadap para ODHA juga berpengaruh terhadap tingkat kunjungan ke VCT. Berdasarkan data kunjungan sejak Januari hingga November 2009 di VCT RSDH, hanya 266 orang yang melakukan pemeriksaan.


“Rata-rata 20-an orang per bulan. Dari angka itu, 62 positif kena HIV dan 48 saat ini sedang mengambil obat Anti Retro Viral (ARV). Angka ini masih sedikit. Tampaknya, orang merasa takut untuk datang periksa,” katanya.


Pola pendekatan yang sama juga diterapkan Yayasan Pengembangan Kesehatan Masyarakat (YPKM). Direktur YPKM Drs. Tahi Butar Butar, M.Kes mengatakan di samping lebih banyak mendengarkan mereka, hal penting pertama adalah melakukan perawatan kesehatan para ODHA, terutama dari proses AIDS ke HIV dengan memberi pengetahuan tentang Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan Acquired Immunodeficiency Syndrome atau Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) secara benar, seperti cara penularan, pencegahan, dan bagaimana si pasien merawat diri sendiri, serta menolong orang lain. Menurut Butar Butar, aspek psikososial amat dibutuhkan para penderita ODHA.
Oleh karena itu, guna melatih mereka untuk bisa kembali hidup bersama di tengah masyarakat, pihak YPKM menawarkan pilihan-pilihan kepada mereka untuk bekerja sesuai bidang keahlian yang dimiliki. Ia yakin, justru dengan membuka diri kepada publik, seorang ODHA bisa memberi penyadaran kepada publik, terutama generasi muda untuk mencegah dan menjaga diri dari HIV-AIDS.
“Jadi sebenarnya, hal paling awal yang kita lakukan ialah berusaha mendampingi mereka untuk membuat mereka terima diri lebih dulu, baru bisa buka diri terhadap publik,” ujarnya.
Hal ini diakui Mama Yuliana Yarisetou, satu dari ratusan penderita ODHA di Jayapura yang sudah membuka diri kepada publik soal penyakit yang dideritanya. Ia adalah penghuni pertama Shelter Surya Kasih yang kini gencar mengkampanyekan masalah HIV-AIDS.


“Dulu waktu dengar hasil tes, saya sangat terpukul. Orang Gereja tolak saya, keluarga tolak saya,” katanya. Namun berkat pendampingan selama berada di shelter, Mama Yuli pelan-pelan menyadari bahwa kurangnya sosialisasi tentang HIV-AIDS juga menjadi salah satu penyebab masih kuatnya diskriminasi.


“Saya terima kenyataan, saya tidak bisa salahkan mereka, dan saya buka diri kepada masyarakat. Ada satu hal yang saya sadari waktu itu, masih banyak orang yang harus saya tolong, maka saya mulai ikut LSM, kampanye lawan HIV-AIDS sana-sini.”
Kini Mama Yuliana aktif sebagai staf dan aktivis Family Health Indonesia (FHI) dengan kegiatan sosialisasi dan kampanye penyadaran. Ia juga terlibat dalam kegiatan Ikatan Perempuan Positif Indonesia (IPPI) Perwakilan Papua untuk merangkul para ODHA dengan berbagai kegiatan pengembangan keterampilan.


Stop Diskriminasi!
Satu hal yang membuat Mama Yuliana kecewa ialah ketika kampanye dan penyadaran itu gencar dilakukan oleh ia dan teman-temannya guna menghilangkan diskriminasi, justru di tingkat elite politik Papua kadang lahir kebijakan yang diskriminatif terhadap para ODHA.
Misalnya pada Desember 2008 lalu ketika DPRP Papua dengan menggunakan hak inisitif dewan memasukan ide pemasangan microchip ke dalam draf Rancangan Peraturan Daerah Provinsi (Raperdasi) Pasal 35 Ayat 4:i tentang Penanggulangan HIV-AIDS di Papua untuk selanjutnya disahkan ke dalam Perdasi.
“Waktu itu kita turun demo, kita lawan, karena kita bukan barang percobaan. ODHA juga manusia,” ujar Mama Yuli. Ketua Komisi E DPRP Periode 2004-2009 dr. John Manangsang saat itu berdalih, sikap ekstrim ini diambil DPRP untuk menekan angka penyebaran HIV-AIDS di Papua yang umumnya terjadi akibat hubungan seksual. Manangsang berpendapat, dengan dipasangnya chip di sekitar alat kelamin pasien ODHA, pihak berwenang akan lebih mudah membantu melacak penderita AIDS yang dengan sengaja menularkan penyakitnya, lalu menghukumnya.
”Ini memang ekstrim tapi pilihan radikal untuk menekan penyebaran HIV-AIDS,” tegas Manangsang.
Namun berkat perlawanan keras dari KPA Papua, jaringan ODHA dan LSM pencinta ODHA di Kota Jayapura melalui demonstrasi penolakan, raperdasi kontroversial itu pun batal disahkan. Patut dimaklumi bahwa raperdasi kontoversial itu muncul ketika timbul keresahan dalam diri DPRP melihat angka kasus HIV-AIDS di Papua dari waktu ke waktu terus meningkat.
Data resmi yang dikeluarkan Subdin BPP dan PL Dinas Kesehatan Provinsi Papua per 31 Maret 2009 menunjukkan, kasus HIV-AIDS di Papua menembus angka 4735. Ditambah dengan 1.500 kasus yang ditemukan di Provinsi Papua Barat, wilayah Papua di tahun 2009 ini akhirnya tetap bertahan di posisi ke-4 nasional sebagai wilayah dengan kasus HIV-AIDS terbanyak yakni 6.245 orang setelah Jawa Timur, DKI Jakarta, dan Jawa Barat. Bahkan kini setelah setahun berselang berdasarkan data KPA Papua per 30 September 2010, kasus HIV-AIDS di kedua provinsi Tertimur di Indonesia ini menembus angka 6.303 kasus.
Ketua Pelaksana Harian KPA Provinsi Papua drh. Constant Karma mengatakan, dari data itu, 90 persen penularan terjadi lewat hubungan seksual oleh kelompok pria berisiko.
“Mimika yang terbanyak dengan angka 1874 kasus. Bahkan berdasarkan kota, Timika menjadi paling tinggi dan berada di urutan empat secara nasional di bawah Bandung, Jakarta dan Denpasar,” ujar Karma.


Tetapi apakah dengan itu, para ODHA harus tetap didiskriminasikan dan diawasi seperti musuh?
“Kalau saya dengar ada perawat dan publikasikan hasil pemeriksaan dan tuding si A atau si B itu ODHA, saya akan pecat dia sekalipun dia PNS. Karena selain tuntutan etika medis untuk menjaga kerahasiaan penyakit si pasien, juga kita harus berupaya melawan stigmatisasi terhadap ODHA. Saya mau tanya, apa bedanya orang sakit HIV-AIDS dan kanker? Kan sama-sama sakit dan sama-sama mengancam,” ujar Direktur RSUD Abepura, dr. Aloysius Giyai, M.Kes di ruang kerjanya, Selasa 1 Desember 2009.
Menurut Giyai, asas kerahasiaan harus dijaga oleh para pekerja medis agar para ODHA bisa memiliki semangat hidup dan bergaul di tengah masyarakat seperti layaknya manusia lain. Ketika munculnya isu pemasangan microchip yang sempat membakar gedung DPRP, Giyai mengaku sangat menentangnya karena itu bukanlah solusi mengatasi persoalan HIV-AIDS di Papua.
”Kalau mau serius tekan angka HIV-AIDS, tidak bisa dengan membuat kebijakan yang mendiskriminasikan para ODHA. Mereka sudah sakit dan menderita secara fisik, jangan tambahkan lagi dengan penderitaan jiwa. Langkah ekstrim yang seharusnya ditempuh, ya tutup saja segala tempat-tempat bar-bir-bor. Kalau takut mereka akan bertransaksi di jalanan dan kehilangan pekerjaan, buatlah produk hukum untuk mengatasinya,” kata Giyai.


Direktur Yayasan Harapan Ibu (YHI) Papua Veneranda Kirihio tak sependapat dengan solusi yang ditawarkan Giyai. Menurutnya, justru dengan menutup lokalisasi akan memberi ruang bagi penyebaran dan penularan HIV-AIDS. Sebab para pekerja seks di lokalisasi yang selalu melakukan kontrol kesehatan di kliniknya akan turun di jalanan maupun di tempat-tempat tertutup seperti kos-kosan dan hotel, dimana mereka tidak lagi mengontrol kesehatannya secara rutin. Tercatat sekitar 200 lebih pekerja seks jalanan (PSJ) saat ini berada di bawah pendampingan YHI, mulai dari Sentani sampai Base G.


“Selama pendampingan, kami merasakan betapa rentannya kondisi mereka terhadap ancaman HIV-AIDS. Sejauh ini, tim pendamping kami turun langsung ke lapangan memberikan sosialisasi dan mewajibkan mereka menggunakan kondom dan mengajak mereka periksa ke VCT secara rutin. Kita tidak bisa melarang mereka bekerja, karena mereka juga mau cari hidup karena umumnya mereka menjadi PSJ karena faktor ekonomi,” kata Kirihio.


Persoalan HIV-AIDS di Papua memang ibarat gunung es. Bersentuhan dari satu aspek ke aspek kehidupan lainnya. Kondisi ini membuat persoalan ini sulit diatasi. Maka dari waktu ke waktu, angka penderita terus meningkat. Serentak dengan itu, dari waktu ke waktu pula, dana bantuan untuk penanggulangan dan pencegahan HIV-AIDS berdatangan dari berbagai pihak.


Pemerintah Amerika Serikat misalnya pada Januari 2006 lalu menyalurkan dana sebesar US$15 miliar bagi penanggulan HIV-AIDS di Papua. Pada April 2009, Global Fund For Fight AIDS, TB, and Malaria’ (GFATM), sebuah lembaga donor Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) yang beranggotakan delapan negara, juga membantu Provinsi Papua sebesar Rp11,7 miliar untuk menangani masalah HIV/AIDS, dengan perincian Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Provinsi Papua sebesar Rp3,2 miliar, Dinas Kesehatan (Dinkes) Provinsi Papua sebesar Rp 5,5 miliar, dan rekanan pemerintah dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) terpilih yakni Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Provinsi Papua sebesar Rp 3,2 miliar.


Tak hanya melalui KPA dan mitra LSM, dana penanggulangan AIDS di Papua pun disalurkan ke Dinas Pendidikan Provinsi Papua bagi biaya pencegahan di kalangan remaja lewat kurikulum pendidikan. Pada 3 Desember 2009 lalu, Kerajaan Belanda resmi menggelontorkan dana sebesar US$ 5.6 million atau Rp 52,6 miliar untuk Provinsi Papua dan Papua Barat setelah menandatangani MoU di Jakarta.
Lasarus, Mama Yuli, dan semua penderita ODHA di Papua tidak tahu soal dana-dana itu. Mereka juga tidak memiliki wewenang atas semua kebijakan penanggulangan HIV-AIDS di Papua. Mereka hanya menginginkan agar diri mereka dan semua teman-teman ODHA di Tanah Papua tidak didiskriminasikan di tengah masyarakat dan dilayani dengan penuh kasih.
Jangan hanya memberikan tanganmu untuk menolong, berikanlah juga hatimu.’ Kata-kata Ibu Teresa dari Calcutta itu menjadi kerinduan terdalam mereka. (Gusty Masan Raya)

sumber:

Senin, 06 Juni 2011

ODHA Manusia Biasa

Sebagaimana yang dikatakan bahwa Indonesia adalah Negara yang religious. Namun, penderita HIV terus meningkat dari tahun 1980 hingga tahun 2011. Bayangkan saja, jika bertambahnya orang dengan HIV/AIDS (ODHA) ini berarti generasi berikutnya pun akan lebih berkembang dengan pesat jika pasangan suami istri yang melahirkan anak dan salah satu dari mereka adalah ODHA.
Hal ini sangat disayangkan, begitu banyak orang yang terjangkit HIV/AIDS di dunia ini khususnya Indonesia. ODHA sering mendapatkan perlakuan yang tidak wajar dari orang-orang di sekitar. Beberapa faktor yang menyebabkan ODHA dikucilkan, pertama karena kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai penularan HIV/AIDS sehingga mereka berpikir dengan bersentuhan dengan ODHA mereka akan tertular. Kedua, karena banyak orang menganggap ODHA orang yang berdosa sehingga tidak pantas untuk didekati. Pemikiran-pemikiran seperti hal di atas lah yang terus berkembang. Hal ini membuat ODHA minder dan malu untuk berinteraksi dengan orang disekitar mereka. Bahkan ODHA berusaha untuk menutupi identitas mereka bahaw mereka adalah ODHA karena takut dikucilkan.
Menurut hasil survei bidang tenaga kerja Indonesia, mereka menemukan bahwa ODHA mengalami kesulitan dalam mendapatkan akses ke pekerjaan. Sebanyak 72,7 % keluarga ODHA bekerja tanpa upah. Hal tersebut semakin menyulitkan keluarga ODHA karena tingkat pengeluaran yang jauh lebih besar hingga lima kali lipat daripada keluarga normal.
ODHA juga manusia biasa, mereka membutuhkan dana yang jauh lebih banyak dari pada yang kita butuhkan. Ini dikarenakan pengeluaran untuk kesehatan mereka butuh biaya yang banyak. Terkadang, pendidikan mereka abaikan karena tidak mampu untuk membayar. ODHA sangat memerlukan dana untuk memperjinak virus yang ada dalam diri mereka.
Kita tidak dapat sepenuhnya menyalahkan ODHA. Mereka menjadi ODHA ada yang bukan karena kesalahan mereka. Bisa saja karena mereka disuntik menggunakan jarum bekas ODHA lainnya sehingga tertular, ada juga karena terkena luka atau darah ODHA sebelumnya. Jadi, syukurilah hidup kita yang sekarang. Mari bantu ODHA jangan menjauhi mereka. Mereka juga ingin hidup seperti kita, penyesalan selalu datang terkahir. Kami yakin ODHA merasakan penyesalan yang mendalam dan tidak ingin hal serupa terjadi pada kita. Bersama-sama kita membantu ODHA karena jika bukan kita siapa lagi yang akan memberikan dukungan kepada ODHA.

Minggu, 05 Juni 2011

ODHA pun punya Hak

    Infeksi HIV (Human Immunodeficiency Virus)maupun status AIDS (Aquirred Immunodeficiency Syndrome) dapat menimbulkan dampak yang kompleks terhadap aspek bio-psikososial seorang ODHA (Orang yang hidup Dengan HIV/AIDS). Tidak hanya akan mengalami gejala-gejala klinis berupa penyakit semata, tetapi juga berbagai permasalahan psikis dan sosial.Padahal ODHA juga manusia, sama seperti kita, warga negara Indonesia lainnya yang tetap memiliki martabat, hak dan kewajiban asasi.
Faktanya, stigma terhadap ODHA telah menjadi sumber ketakutan bagi sebagian masyarakat. Acapkali muncul berbagai perdebatan yang mempertentangkan antara kepentingan masyarakat umum dengan ODHA. Akibatnya,hak-hak ODHA dalam kehidupan sehari-hari sering terabaikan. Alasan yang sering digunakan adalah demi menyelamatkan masyarakat, tetapi apabila dikaji kembali ternyata hanya karena pemahaman yang salah dari mitos-mitos negatif tentang ODHA. Seperti mitos bahwa AIDS merupakan suatu penyakit yang sangat mematikan, berbahaya, belum dapat disembuhkan, tidak ada obatnya, mudah menular dan tidak dapat dicegah.
Salah satu diskriminasi yang paling parah adalah mengenai hak-hak ODHA untuk sehat dan mendapatkan pelayanan medis. Ketimpangan layanan medis terhadap seorang ODHA masih gampang kita ditemui. Seperti kejadian di Makasar beberapa pekan yang lalu dimana ditemukan seorang pasien ODHA stadium IV (fase AIDS) yang dibiarkan tidur terlantar begitu saja di pinggir jalan oleh petugas medis setempat. Petugas beralasan karena tidak adanya anggota keluarga yang mau bertanggung jawab. Contoh lainnya yang pernah terjadi di Bali beberapa tahun yang lalu, ketika seorang ODHA ditolak menjalani rawat inap disalah satu rumah sakit dengan alasan penyakitnya dapat menulari pasien yang lain dan tidak ada gunanya dirawat inap karena tidak akan sembuh. Stigma juga terlihat pada sikap beberapa perusahaan asuransi kesehatan yang umumnya masih tidak mau mengganti biaya pengobatan seorang pasien apabila ia berstatus ODHA. Dan masih banyak pula fakta bahwa paramedis lainnya yang menolak melakukan pemeriksaan setelah tahu pasiennya adalah seorang ODHA.
Semua itu jelas sesuatu pemahaman yang salah. Didalam Ikrar dunia Kedokteran “Sumpah Hippokrates”, jelas tertera bahwa dokter maupun tenaga medis lainnya wajib untuk menolong pasiennya tanpa membedakan latar belakangnya. ODHA sebagaimana penderita penyakit lainnya mempunyai hak untuk mendapatkan layanan kesehatan yang sama, manusiawi dan tanpa diskriminasi.
Di pihak lain, sikap stigma yang muncul itu perlu dipahami bahwa bukan sepenuhnya kesalahan petugas medis belaka. Kondisi tersebut timbul disebabkan ketidaktahuan dan informasi yang masih kurang mengenai HIV/AIDS yang berkaitan dengan hak sosial dan hak sehat ODHA. Sehingga diperlukan keterlibatan seluruh komponen baik pemerintah, lembaga-lembaga kesehatan, tim medis dan masyarakat guna menumbuhkan kepedulian terhadap ODHA guna bersama-sama mencegah epidemi HIV/AIDS.
Sementara itu para ODHA juga mempunyai kewajiban nurani untuk menjaga dirinya sendiri agar tidak menulari HIV pada orang lain yang sehat. Kewajiban ini secara sadar haruslah ditanamkan kepada ODHA sewaktu pertama kali mereka diketahui terinfeksi. Sebaliknya setiap anggota masyarakat turut berkewajiban menjaga dirinya agar tidak terinfeksi HIV. Secara prinsip, penularan HIV baru dapat terjadi bila ODHA mengabaikan kewajiban sosialnya untuk tidak menularkan pada orang lain dan masyarakat umum yang tidak menghindari semua perilaku beresiko terhadap penularan HIV.
Selain itu diperlukan juga pemahaman masyarakat terhadap permasalahan ODHA agar stigma dan diskriminasi yang selama ini telah terjadi mampu dihilangkan. Secara tidak langsung sikap tersebut diharapkan dapat mendorong orang-orang yang termasuk kedalam komunitas beresiko dan juga para ODHA untuk berani memeriksakan dirinya, menjalani VCT (Voulentory Couseling and Testing) dan mencari pengobatan yang tepat sehingga lebih mudah dalam upaya pencegahan penularan HIV/AIDS.
Di atas semua itu, menghilangkan mitos-mitos yang tidak benar tentang AIDS di masyarakat merupakan cara yang efektif untuk memulihkan hak-hak sosial seorang ODHA. Upaya penyuluhan terus-menerus kepada masyarakat dan advokasi yang berkesinambungan untuk memperjuangkan hak-hak ODHA
diharapkan dapat mengurangi tindakan diskriminatif, stigmatisasi dan marginalisasi.
Akhirnya, teladan yang nyata dari para tokoh masyarakat dan para pemimpin akan turut menimbulkan pengaruh besar pada perubahan yang positif pola pikir masyarakat terhadap keberadaan ODHA.

Jumat, 03 Juni 2011

Musik : Solusi Terapi bagi ODHA

Dua puluh tahun belakangan penyakit HIV-AIDS meluas di berbagai belahan dunia. Dari survey orang dalam 20 tahun terakhir terinfeksi lebih dari 60 juta Virus HIV. Dari jumlah itu, 20 juta orang meninggal karena Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS). Tahun 2001, UNAIDS (United Nations Joint Program on HIV atau AIDS) memperkirakan, jumlah Orang Hidup Dengan HIV atau AIDS (ODHA) 40 juta jiwa.
Sejak meluasnya penyakit yang disebabkan oleh virus bernama HIV (Human Immunodeficiency Virus) , tim dokter dari seluruh dunia berusaha untuk membuat keadaan ODHA membaik dengan berusaha menawarkan solusi-solusi terbaik bagi penderita. Sampai saat ini, HIV-AIDS sangat sulit untuk disembuhkan, bahkan dapat dikatakan hampir tidak mungkin. Hal terbaik yang dapat di lakukan tim dokter saat ini hanya memperlama masa hidup ODHA. Salah satu cara menarik yang tidak biasa adalah terapi musik. Musik memiliki kekuatan untuk mengobati penyakit dan meningkatkan kemampuan pikiran seseorang. Ketika musik diterapkan menjadi sebuah terapi, termasuk salah satunya terapi HIV/AIDS, musik dapat meningkatkan, memulihkan, dan memelihara kesehatan fisik, mental, emosional, sosial dan  spiritual dari ODHA.
Musik bekerja pada sistem saraf otonom yaitu bagian sistem saraf yang bertanggung jawab mengontrol tekanan darah, denyut jantung dan fungsi otak, yang mengontrol perasaan dan emosi. Menurut penelitian, kedua sistem tersebut bereaksi sensitif terhadap musik. Ketika kita merasa sakit, kita menjadi takut, frustasi dan marah yang membuat kita menegangkan otot-otot tubuh, hasilnya rasa sakit menjadi semakin parah. Mendengarkan musik secara teratur membantu tubuh relaks secara fisik dan mental, sehingga membantu menyembuhkan dan mencegah rasa sakit.
Dr. Joanne Loewy yang memimpin tiga penelitian di Israel Medical Center mengetahui bagaimana musik bisa memperingan penderitaan anak AIDS, leukemia, asma dan gangguan otak yang berat. Joanne melihat musik bisa banyak meringankan keadaan mereka. Menurut penelitian terbarunya, musik berpengaruh langsung ke otak dan berakibat ke proses kerja tubuh. Dari hasil EKG (elektrokardiogram), dalam keadaan tenang dan tidak kesakitan, grafik jantung seseorang tidak melompat-lompat. Sebaliknya, pada saat sedang ketakutan, kesakitan atau dilanda stres, ritme jantungnya "membeku" di frekuensi tertentu.
Pemilihan jenis musik sangatlah penting. "Untuk beberapa orang, musik klasik mungkin terbaik untuknya dan bagi sebagian orang lagi musik Jazz baik buat mereka," ujar Joanne.
Semuanya sangat tergantung dari pribadi orang tersebut. Musik dapat menentramkan kegelisahan dan bahkan mengurangi perasaan sakit. Musik juga dapat mengurangi kebutuhan akan obat-obatan yang selama ini menolong para pasien dari rasa takut dan sakit.