Subcribe to our Newsletters

Selasa, 07 Juni 2011

Kasih Meruntuhkan Diskriminasi ODHA

Biarkan mereka yang bicara, saya hanya mendengarkan…


Di ruangan berukuran 3×4, Lasarus Taiget (28) tidur terbujur menatap langit-langit kamar. Mata putihnya sesekali dibuka dan ditutup menahan perih. Seluruh permukaan kulitnya tampak mengelupas dengan sisik-sisik berjatuhan di atas tempat tidur.

Sesekali ia menatap salib besar yang terpancang pada tembok tepat di atas kepalanya. Semangkuk nasi dan ikan kuah yang tersedia di atas meja samping tempat tidurnya belum tersentuh sendok. Padahal jam di dinding ruangan itu telah menunjukkan pukul 14.00 WIT. Sesuai waktu makan bagi penghuni rumah aman itu, Lasarus sudah molor makan satu jam di Selasa, 1 Desember 2009.
”Aku suap makan ya,” ujar Sr. Yuli sambil menyodorkan sendok berisi nasi. Lasarus menggeleng. Diam. Ruangan panjang bertembok putih dialasi keramik kuning itu memang selalu sunyi setiap hari layaknya biara. Suara detak jam dinding terdengar begitu kuat. Empat dari tujuh kamar tidur terlihat terbuka tanpa penghuni. Kosong.
”Di sini tinggal enam orang, tetapi yang seorang lagi pulang mengurus pensiun suaminya di Wamena, tinggal empat orang. Tadi satu lagi barusan minta izin pulang ke keluarga, sore baru pulang,” kata Sr. Yuli.
Tiga perempuan terlihat sibuk memasak di dapur. Dua orang masih muda. Mungkin belasan tahun. Yang satunya sudah tua berusia rata-rata 50 tahun. Tubuh mereka terlihat kurus. Mereka memilih menghindar saat didekati. Hanya Lasarus yang bisa membuka diri dan bersedia diajak ngobrol.
“Ia sudah kita rawat di sini 10 bulan lalu. Kulitnya ini akibat infeksi oportunistik,” kata Sr. Yuli. Infeksi itu disebabkan oleh kuatnya serangan organisme lain di saat kekebalan tubuh telah dirusak oleh Human Immunodeficiency Virus (HIV). Juga akibat efek obat Anti Retro Viral (ARV) berlebihan yang dikonsumsi Lasarus.
Lasarus adalah putra pertama dari tujuh bersaudara. Ia asli dari Arso Kota, Keerom. Sehari-hari, ayahnya, Hengky Taiget selalu berada di sampingnya. Pihak shelter juga menyiapkan satu tempat tidur untuk Hengky di kamar yang sama.
”Saya hanya petani, tidak punya uang, tapi saya tidak mau pilih kasih dengan anak-anak yang lain. Waktu periksa di Dian Harapan dan dokter bilang dia sakit itu (HIV—Red.), saya, istri dan anak-anak lain memang sempat terpukul. Tapi mau bilang bagaimana, ini sudah terjadi,” kata Hengky. Di tengah penderitaan Lasarus yang kian parah akibat virus mematikan itu, Hengky masih bisa tersenyum. Tabah.
”Dulu saya marah-marah dan sampai pukul dia (Lasarud—Red). Dia sering begadang malam, minum-minum, dan pacaran. Tapi dia keras kepala,” ujar Hengky mengenang masa muda anaknya.
Shelter Surya Kasih yang terletak di belakang SMUK Teruna Bhakti Waena, Kelurahan Yabansai adalah rumah aman milik ordo Frasiskan (OFM), sebuah kongregasi Gereja Katolik yang bernaung di bawah Keuskupan Jayapura. Rumah ini dibangun khusus untuk menampung para ODHA (Orang Dengan HIV-AIDS). Adalah Br. Agus Adil OFM yang merintis shelter ini sejak 2004, dimulai dengan mengontrak sebuah rumah sederhana di Abepura dan berpindah ke belakang RS Dian Harapan tahun 2007.
“Rumah ini baru selesai Agustus lalu, baru tiga bulan kita pindah ke sini,” kata Sr. Yuli. Di rumah itulah, Sr. Yuliana Supatmiati melewati hari-harinya untuk mendampingi para ODHA. Sr. Yuli lulusan D3 Keperawatan Program Khusus Dinkes Kota Jayapura 2009. Sebelumnya, ia bekerja di ruang UGD RS Dian Harapan (RSDH) setelah lulus dari SPK Misi Lebak Bulus, Banten.
Ketika pertama kali ditawarkan oleh Br. Agus Adil untuk menjadi perawat pendamping para ODHA, ia sempat ragu. Ia takut tertular Human Immunodeficiency Virus (HIV), retrovirus yang menginfeksi sel sistem kekebalan tubuh manusia, terutama CD4+ Sel T dan macrophage. Ia lalu mencari literatur buku-buku dan menggali informasi seputar proses penularan HIV. Ternyata HIV hanya bisa menular lewat cairan kelamin saat berhubungan seks, seks oral, atau melalui anus. Juga melalui darah saat transfusi darah dan penggunaan bersama jarum suntik yang sudah terkontaminasi serta melalui air susu ibu. Ia tidak menular lewat kontak fisik biasa seperti berjabatan tangan, berpelukan, aroma nafas maupun air liur.
”Setelah tahu semua itu baru saya terima tawaran Br. Agus. Dan saya mulai sadar, ternyata mereka butuh didengarkan. Biasanya kalau penghuni baru masih belum terima penyakit, mereka sering teriak tengah malam dan menangis histeris. Saya dekati dia, saya ajak dia ngobrol, saya biarkan dia bercerita dan saya duduk dengar tanpa tanya, sampai-sampai ada yang menangis dan tertidur di pangkuan saya,” katanya.
Perempuan kelahiran Lampung, 4 Mei 1981 ini mengaku seluruh karya pelayanannya terinsprasi oleh semangat pelayanan Ibu Teresa dari Calcutta yang membuka rumah Nirmal Hriday untuk orang yang sekarat, Shanti Nagar bagi koloni penderita lepra, dan rumah Kalighat bagi yatim piatu di India. Ia begitu terkesan dengan Ibu Teresa yang setia merawat orang miskin, mencuci luka-luka mereka, meringankan rasa sakit mereka, dan membuat mereka merasa dihargai.
“Saya tergugah dengan semboyannya: ‘Jangan hanya memberikan tanganmu untuk menolong mereka, berikanlah juga hatimu.’ Itu yang buat saya setia melayani mereka dua tahun lebih ini,” ujar Sr. Yuli.
Spirit Cinta Kasih


12912024471684366103
 Br. Agus Adil,OFM (foto: dok. GMR)


Koordinator Shelter Surya Kasih yang juga Manajer Kasus di unit Voluntary Counseling and Testing (VCT) RS Dian Harapan, Br. Agustinus Adil OFM ditemui di Ruang VCT RSDH, Selasa 1 Desember 2009 pagi terlihat sibuk. Pria asal Manggarai, Flores Nusa Tenggara Timur itu tengah membungkus beberapa obat jenis Anti Retro Viral (ARV) ke dalam kantong plastik. ”Ini obat Duviral dan Efavirens, jenis obat ARV. Ada satu mama dari Dekay, Yahukimo yang pesan. Sebentar keponakannya datang ambil untuk dikirim ke Yahukimo,” ujarnya.


Menurut Br. Agus, berdasarkan data, sejak 2007 hingga Juli 2009, tercatat sudah 25 ODHA yang menginap di Shelter Surya Kasih. Mereka umumnya berasal dari pedalaman Papua. Namun menurut Br. Agus, jumlah ini masih sangat sedikit mengingat saat ini angka kasus HIV-AIDS di Kota Jayapura per 31 Maret 2009 mencapai 231 orang. Belum terhitung, beberapa wilayah lain seperti Kabupaten Jayapura, Keerom, Bouvendigoel, Yahukimo, Jayawijaya, Puncak Jaya yang memiliki angka kasus HIV-AIDS yang tinggi dan sering berobat ke Jayapura.


Ia menilai, masih kuatnya diskriminasi terhadap para ODHA juga berpengaruh terhadap tingkat kunjungan ke VCT. Berdasarkan data kunjungan sejak Januari hingga November 2009 di VCT RSDH, hanya 266 orang yang melakukan pemeriksaan.


“Rata-rata 20-an orang per bulan. Dari angka itu, 62 positif kena HIV dan 48 saat ini sedang mengambil obat Anti Retro Viral (ARV). Angka ini masih sedikit. Tampaknya, orang merasa takut untuk datang periksa,” katanya.


Pola pendekatan yang sama juga diterapkan Yayasan Pengembangan Kesehatan Masyarakat (YPKM). Direktur YPKM Drs. Tahi Butar Butar, M.Kes mengatakan di samping lebih banyak mendengarkan mereka, hal penting pertama adalah melakukan perawatan kesehatan para ODHA, terutama dari proses AIDS ke HIV dengan memberi pengetahuan tentang Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan Acquired Immunodeficiency Syndrome atau Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) secara benar, seperti cara penularan, pencegahan, dan bagaimana si pasien merawat diri sendiri, serta menolong orang lain. Menurut Butar Butar, aspek psikososial amat dibutuhkan para penderita ODHA.
Oleh karena itu, guna melatih mereka untuk bisa kembali hidup bersama di tengah masyarakat, pihak YPKM menawarkan pilihan-pilihan kepada mereka untuk bekerja sesuai bidang keahlian yang dimiliki. Ia yakin, justru dengan membuka diri kepada publik, seorang ODHA bisa memberi penyadaran kepada publik, terutama generasi muda untuk mencegah dan menjaga diri dari HIV-AIDS.
“Jadi sebenarnya, hal paling awal yang kita lakukan ialah berusaha mendampingi mereka untuk membuat mereka terima diri lebih dulu, baru bisa buka diri terhadap publik,” ujarnya.
Hal ini diakui Mama Yuliana Yarisetou, satu dari ratusan penderita ODHA di Jayapura yang sudah membuka diri kepada publik soal penyakit yang dideritanya. Ia adalah penghuni pertama Shelter Surya Kasih yang kini gencar mengkampanyekan masalah HIV-AIDS.


“Dulu waktu dengar hasil tes, saya sangat terpukul. Orang Gereja tolak saya, keluarga tolak saya,” katanya. Namun berkat pendampingan selama berada di shelter, Mama Yuli pelan-pelan menyadari bahwa kurangnya sosialisasi tentang HIV-AIDS juga menjadi salah satu penyebab masih kuatnya diskriminasi.


“Saya terima kenyataan, saya tidak bisa salahkan mereka, dan saya buka diri kepada masyarakat. Ada satu hal yang saya sadari waktu itu, masih banyak orang yang harus saya tolong, maka saya mulai ikut LSM, kampanye lawan HIV-AIDS sana-sini.”
Kini Mama Yuliana aktif sebagai staf dan aktivis Family Health Indonesia (FHI) dengan kegiatan sosialisasi dan kampanye penyadaran. Ia juga terlibat dalam kegiatan Ikatan Perempuan Positif Indonesia (IPPI) Perwakilan Papua untuk merangkul para ODHA dengan berbagai kegiatan pengembangan keterampilan.


Stop Diskriminasi!
Satu hal yang membuat Mama Yuliana kecewa ialah ketika kampanye dan penyadaran itu gencar dilakukan oleh ia dan teman-temannya guna menghilangkan diskriminasi, justru di tingkat elite politik Papua kadang lahir kebijakan yang diskriminatif terhadap para ODHA.
Misalnya pada Desember 2008 lalu ketika DPRP Papua dengan menggunakan hak inisitif dewan memasukan ide pemasangan microchip ke dalam draf Rancangan Peraturan Daerah Provinsi (Raperdasi) Pasal 35 Ayat 4:i tentang Penanggulangan HIV-AIDS di Papua untuk selanjutnya disahkan ke dalam Perdasi.
“Waktu itu kita turun demo, kita lawan, karena kita bukan barang percobaan. ODHA juga manusia,” ujar Mama Yuli. Ketua Komisi E DPRP Periode 2004-2009 dr. John Manangsang saat itu berdalih, sikap ekstrim ini diambil DPRP untuk menekan angka penyebaran HIV-AIDS di Papua yang umumnya terjadi akibat hubungan seksual. Manangsang berpendapat, dengan dipasangnya chip di sekitar alat kelamin pasien ODHA, pihak berwenang akan lebih mudah membantu melacak penderita AIDS yang dengan sengaja menularkan penyakitnya, lalu menghukumnya.
”Ini memang ekstrim tapi pilihan radikal untuk menekan penyebaran HIV-AIDS,” tegas Manangsang.
Namun berkat perlawanan keras dari KPA Papua, jaringan ODHA dan LSM pencinta ODHA di Kota Jayapura melalui demonstrasi penolakan, raperdasi kontroversial itu pun batal disahkan. Patut dimaklumi bahwa raperdasi kontoversial itu muncul ketika timbul keresahan dalam diri DPRP melihat angka kasus HIV-AIDS di Papua dari waktu ke waktu terus meningkat.
Data resmi yang dikeluarkan Subdin BPP dan PL Dinas Kesehatan Provinsi Papua per 31 Maret 2009 menunjukkan, kasus HIV-AIDS di Papua menembus angka 4735. Ditambah dengan 1.500 kasus yang ditemukan di Provinsi Papua Barat, wilayah Papua di tahun 2009 ini akhirnya tetap bertahan di posisi ke-4 nasional sebagai wilayah dengan kasus HIV-AIDS terbanyak yakni 6.245 orang setelah Jawa Timur, DKI Jakarta, dan Jawa Barat. Bahkan kini setelah setahun berselang berdasarkan data KPA Papua per 30 September 2010, kasus HIV-AIDS di kedua provinsi Tertimur di Indonesia ini menembus angka 6.303 kasus.
Ketua Pelaksana Harian KPA Provinsi Papua drh. Constant Karma mengatakan, dari data itu, 90 persen penularan terjadi lewat hubungan seksual oleh kelompok pria berisiko.
“Mimika yang terbanyak dengan angka 1874 kasus. Bahkan berdasarkan kota, Timika menjadi paling tinggi dan berada di urutan empat secara nasional di bawah Bandung, Jakarta dan Denpasar,” ujar Karma.


Tetapi apakah dengan itu, para ODHA harus tetap didiskriminasikan dan diawasi seperti musuh?
“Kalau saya dengar ada perawat dan publikasikan hasil pemeriksaan dan tuding si A atau si B itu ODHA, saya akan pecat dia sekalipun dia PNS. Karena selain tuntutan etika medis untuk menjaga kerahasiaan penyakit si pasien, juga kita harus berupaya melawan stigmatisasi terhadap ODHA. Saya mau tanya, apa bedanya orang sakit HIV-AIDS dan kanker? Kan sama-sama sakit dan sama-sama mengancam,” ujar Direktur RSUD Abepura, dr. Aloysius Giyai, M.Kes di ruang kerjanya, Selasa 1 Desember 2009.
Menurut Giyai, asas kerahasiaan harus dijaga oleh para pekerja medis agar para ODHA bisa memiliki semangat hidup dan bergaul di tengah masyarakat seperti layaknya manusia lain. Ketika munculnya isu pemasangan microchip yang sempat membakar gedung DPRP, Giyai mengaku sangat menentangnya karena itu bukanlah solusi mengatasi persoalan HIV-AIDS di Papua.
”Kalau mau serius tekan angka HIV-AIDS, tidak bisa dengan membuat kebijakan yang mendiskriminasikan para ODHA. Mereka sudah sakit dan menderita secara fisik, jangan tambahkan lagi dengan penderitaan jiwa. Langkah ekstrim yang seharusnya ditempuh, ya tutup saja segala tempat-tempat bar-bir-bor. Kalau takut mereka akan bertransaksi di jalanan dan kehilangan pekerjaan, buatlah produk hukum untuk mengatasinya,” kata Giyai.


Direktur Yayasan Harapan Ibu (YHI) Papua Veneranda Kirihio tak sependapat dengan solusi yang ditawarkan Giyai. Menurutnya, justru dengan menutup lokalisasi akan memberi ruang bagi penyebaran dan penularan HIV-AIDS. Sebab para pekerja seks di lokalisasi yang selalu melakukan kontrol kesehatan di kliniknya akan turun di jalanan maupun di tempat-tempat tertutup seperti kos-kosan dan hotel, dimana mereka tidak lagi mengontrol kesehatannya secara rutin. Tercatat sekitar 200 lebih pekerja seks jalanan (PSJ) saat ini berada di bawah pendampingan YHI, mulai dari Sentani sampai Base G.


“Selama pendampingan, kami merasakan betapa rentannya kondisi mereka terhadap ancaman HIV-AIDS. Sejauh ini, tim pendamping kami turun langsung ke lapangan memberikan sosialisasi dan mewajibkan mereka menggunakan kondom dan mengajak mereka periksa ke VCT secara rutin. Kita tidak bisa melarang mereka bekerja, karena mereka juga mau cari hidup karena umumnya mereka menjadi PSJ karena faktor ekonomi,” kata Kirihio.


Persoalan HIV-AIDS di Papua memang ibarat gunung es. Bersentuhan dari satu aspek ke aspek kehidupan lainnya. Kondisi ini membuat persoalan ini sulit diatasi. Maka dari waktu ke waktu, angka penderita terus meningkat. Serentak dengan itu, dari waktu ke waktu pula, dana bantuan untuk penanggulangan dan pencegahan HIV-AIDS berdatangan dari berbagai pihak.


Pemerintah Amerika Serikat misalnya pada Januari 2006 lalu menyalurkan dana sebesar US$15 miliar bagi penanggulan HIV-AIDS di Papua. Pada April 2009, Global Fund For Fight AIDS, TB, and Malaria’ (GFATM), sebuah lembaga donor Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) yang beranggotakan delapan negara, juga membantu Provinsi Papua sebesar Rp11,7 miliar untuk menangani masalah HIV/AIDS, dengan perincian Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Provinsi Papua sebesar Rp3,2 miliar, Dinas Kesehatan (Dinkes) Provinsi Papua sebesar Rp 5,5 miliar, dan rekanan pemerintah dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) terpilih yakni Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Provinsi Papua sebesar Rp 3,2 miliar.


Tak hanya melalui KPA dan mitra LSM, dana penanggulangan AIDS di Papua pun disalurkan ke Dinas Pendidikan Provinsi Papua bagi biaya pencegahan di kalangan remaja lewat kurikulum pendidikan. Pada 3 Desember 2009 lalu, Kerajaan Belanda resmi menggelontorkan dana sebesar US$ 5.6 million atau Rp 52,6 miliar untuk Provinsi Papua dan Papua Barat setelah menandatangani MoU di Jakarta.
Lasarus, Mama Yuli, dan semua penderita ODHA di Papua tidak tahu soal dana-dana itu. Mereka juga tidak memiliki wewenang atas semua kebijakan penanggulangan HIV-AIDS di Papua. Mereka hanya menginginkan agar diri mereka dan semua teman-teman ODHA di Tanah Papua tidak didiskriminasikan di tengah masyarakat dan dilayani dengan penuh kasih.
Jangan hanya memberikan tanganmu untuk menolong, berikanlah juga hatimu.’ Kata-kata Ibu Teresa dari Calcutta itu menjadi kerinduan terdalam mereka. (Gusty Masan Raya)

sumber:

Tidak ada komentar: